Menyoal Hukuman Fisik di Sekolah: Perspektif GARDAPATI RB tentang KBM di Asahan

Menyoal Hukuman Fisik di Sekolah

Persmahasiswa.id - Kawan-kawan, dunia pendidikan kita kembali mendapat sorotan, kali ini dari Gerakan Pemuda Indonesia Pemerhati Reformasi Birokrasi (GARDAPATI RB). Organisasi ini menyoroti praktik Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kabupaten Asahan. Pemicunya adalah dugaan adanya ancaman hukuman fisik terhadap siswa, yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang sehat.

Rahmad Syambudi, Ketua Umum GARDAPATI RB, menyampaikan kekhawatirannya terkait hal tersebut. Menurut Rahmad, segala bentuk hukuman fisik dalam proses belajar mengajar tidak bisa dibenarkan. Hal ini mencuat setelah muncul laporan bahwa seorang siswa diwajibkan membawa bola bulu tangkis ke sekolah, dengan ancaman hukuman push up sebanyak 50 kali bagi yang tidak memenuhi kewajiban tersebut.


Apa yang Terjadi di Asahan?

Pada Selasa (17/9/2024), Rahmad menyampaikan bahwa ada informasi tentang seorang siswa yang dipaksa membawa bola bulu tangkis oleh gurunya. Jika gagal, siswa tersebut harus menjalani hukuman fisik berupa push up sebanyak 50 kali. Ini memicu diskusi yang lebih besar tentang bagaimana pendidikan harusnya dijalankan dan apakah hukuman fisik bisa menjadi solusi dalam proses pembelajaran.

"Kegiatan seperti ini tidak bisa dibiarkan terjadi. Hukuman fisik seperti push up bukanlah cara yang benar dalam mendidik siswa," ujar Rahmad.

Menurutnya, ancaman hukuman semacam ini tidak hanya melanggar hak siswa untuk belajar dengan nyaman, tetapi juga bisa berdampak buruk pada perkembangan psikologis mereka. Pendidikan harusnya berfokus pada pengembangan karakter positif, bukan membuat siswa takut akan hukuman fisik.


Sanksi Fisik Tidak Relevan dalam Pendidikan Modern

Rahmad menambahkan bahwa hukuman fisik sudah seharusnya tidak lagi menjadi bagian dari metode pengajaran di sekolah-sekolah Indonesia. Ia menekankan bahwa pendekatan yang lebih manusiawi dan mendidik jauh lebih efektif dalam membangun karakter siswa.

"Bulu tangkis itu permainan yang membutuhkan bola, benar, tapi tidak berarti setiap siswa harus membawa bola sendiri. Itu tugas sekolah untuk menyediakan fasilitas," kata Rahmad.

Menurutnya, sekolah seharusnya memanfaatkan anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk menyediakan kebutuhan olahraga bagi siswa, termasuk bola bulu tangkis.

"Apa fungsinya dana BOS kalau tidak untuk hal-hal seperti ini?" lanjutnya.

Pernyataan ini mengarah pada pertanyaan yang lebih besar tentang bagaimana sekolah menggunakan dana yang ada untuk meningkatkan fasilitas belajar. Jika dana tersebut sudah tersedia, mengapa siswa masih dibebani untuk membawa peralatan olahraga sendiri? Pertanyaan ini menjadi salah satu kritik utama yang disuarakan oleh GARDAPATI RB.


Mengelola Keputusan yang Bijak

Selain menyoroti praktik yang dinilai tidak adil terhadap siswa, Rahmad juga menekankan perlunya para pendidik dan kepala sekolah membuat keputusan yang lebih bijaksana. Ia berharap agar guru dan pihak sekolah bisa lebih berpikir panjang dalam menentukan kebijakan yang melibatkan siswa, terutama terkait hal-hal yang bisa mempengaruhi perkembangan fisik dan mental mereka.

“Kami berharap guru dan kepala sekolah lebih bijak dalam menangani siswa. Kebijakan seperti ini bisa menciptakan tekanan yang tidak perlu bagi siswa. Harus ada cara yang lebih baik dalam mengelola kegiatan belajar mengajar,” tegas Rahmad.

Sebagai organisasi yang berfokus pada reformasi birokrasi di berbagai sektor, termasuk pendidikan, GARDAPATI RB tidak tinggal diam. Jika situasi seperti ini terus berlanjut, mereka siap mengambil langkah-langkah hukum demi memastikan pendidikan di Indonesia tetap berlandaskan pada prinsip profesionalisme dan integritas.


Menyoal Penggunaan Dana BOS

Salah satu poin penting yang diangkat oleh Rahmad adalah penggunaan anggaran BOS. Menurutnya, sudah semestinya dana ini dipergunakan untuk menyediakan fasilitas olahraga bagi siswa, termasuk bola bulu tangkis. Keputusan untuk mewajibkan siswa membawa sendiri bola tersebut dianggap tidak masuk akal dan justru menimbulkan beban tambahan bagi orang tua.

"Apa gunanya dana BOS jika hal-hal dasar seperti ini masih harus ditanggung oleh siswa? Sepak bola, bulu tangkis, tenis meja—semua olahraga membutuhkan peralatan, dan tugas sekolah adalah menyediakan itu. Siswa datang ke sekolah untuk belajar, bukan untuk membawa peralatan olahraga sendiri,” lanjut Rahmad.


Ke Mana Arah Pendidikan Kita?

Kawan-kawan, ini bukan pertama kalinya ada kasus seperti ini di dunia pendidikan Indonesia. Hukuman fisik sebagai bagian dari disiplin sekolah sering kali diperdebatkan, terutama di tingkat sekolah menengah. Beberapa pihak masih berpegang pada konsep hukuman fisik sebagai cara untuk menanamkan disiplin, sementara yang lain berpendapat bahwa pendekatan tersebut ketinggalan zaman dan tidak lagi relevan di era modern.

Di sini, GARDAPATI RB mengajak kita semua untuk melihat pendidikan dari sudut pandang yang lebih luas. Pendidikan bukan hanya soal memenuhi target akademis, tetapi juga soal membentuk karakter dan memberikan ruang bagi siswa untuk berkembang dengan cara yang sehat. Ancaman hukuman fisik hanya akan menciptakan lingkungan belajar yang penuh ketakutan, bukan lingkungan yang mendukung pertumbuhan.


Menghindari Hukuman Fisik: Apa Solusinya?

Jika hukuman fisik bukanlah jawabannya, lalu apa yang bisa dilakukan? Menurut Rahmad, ada banyak cara untuk mendisiplinkan siswa tanpa harus menggunakan pendekatan yang merugikan mereka secara fisik. Salah satunya adalah dengan memperkuat komunikasi antara guru, siswa, dan orang tua. Dengan demikian, semua pihak bisa saling mendukung dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Selain itu, Rahmad juga mendorong penggunaan metode pengajaran yang lebih kreatif dan interaktif. "Guru bisa menggunakan pendekatan lain yang lebih positif. Misalnya, memberikan tugas tambahan atau membangun diskusi yang mendorong siswa untuk berpikir kritis. Hal-hal seperti ini jauh lebih efektif daripada hukuman fisik," jelasnya.


Mewujudkan Pendidikan yang Lebih Baik

Kawan-kawan, kasus di Asahan ini mengingatkan kita bahwa masih ada banyak pekerjaan rumah dalam dunia pendidikan kita. Menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk menciptakan generasi yang berkarakter tidak bisa dilakukan dengan hukuman fisik. Harus ada pendekatan yang lebih manusiawi dan berbasis pada pengembangan potensi siswa.

GARDAPATI RB dengan tegas menyatakan bahwa mereka tidak akan tinggal diam jika praktik-praktik seperti ini terus berlanjut. Mereka siap mengambil langkah hukum demi memastikan siswa mendapatkan hak mereka untuk belajar di lingkungan yang aman dan mendukung. Di sisi lain, ini juga menjadi momen penting bagi kita semua untuk merenungkan kembali apa yang sebenarnya kita harapkan dari pendidikan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama