Dinamika Artificial Intelligence Dan Seniman

Dinamika Artificial Intelligence Dan Seniman

Dinamika Artificial Intelligence (AI) Dan Seniman

Oleh: Rahmad Syambudi
Sekretaris DPC Federasi TNP Konfederasi Serikat Buruh Sejahera Indonesia Kabupaten Asahan


Perkembangan teknologi telah sampai pada era kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). AI merupakan teknologi super duper canggih. AI bisa melakukan apa saja yang diminta oleh penggunanya dengan suatu perintah atau biasa disebut prompt. Mulai dari diminta menjawab suatu pertanyaan, membuat suatu gambar, mencipta lagu lengkap dengan musik dan lirik, hingga membuat film pendek. Semua itu bisa dilakukan AI hanya dalam hitungan detik langsung selesai. Terdengar sangat membantu, namun di lain sisi, hal ini akan terdengar malapetaka bagi beberapa profesi yang sudah ada.

Artificial Intelligence (AI) adalah teknologi yang disebut-sebut akan menggantikan manusia sebagai pekerja, khususnya pekerja seni atau seniman. Setidaknya sampai hari ini, Sebagai contoh, dampak teknologi AI telah dirasakan oleh profesi desain grafis. Banyak orang memilih menggunakan AI untuk mendesain logo atau sekedar membuat suatu citra gambar atau video karena dinilai efisien waktu dan hasilnya bagus. Akibatnya, profesi desain grafis kehilangan banyak calon pelanggan, lantaran “kalah saing” dengan AI.


Perbandingan Kualitas “Hasil Kerja” Artificial Intelligence (AI) dan Profesional

Artificial Intelligence (AI) bisa melakukan apa saja yang diminta oleh penggunanya hanya dengan mengirimkan prompt atau perintah. Menilik AI, teknologi ini telah tersedia dalam berbagai jenis mode aplikasi web. Dimulai jenis AI teks, AI musik, AI gambar, dan AI video. Sesuai jenisnya, jenis AI ini sangat bisa diandalkan dalam hal membuat suatu teks, musik, gambar, dan video. Mulai dari versi gratisan hingga berbayar jutaan.

Misalnya salah satu jenis AI teks paling populer yaitu platform aplikasi web bernama ChatGPT. ChatGPT versi gratisan mampu menuliskan teks apa saja yang diminta oleh penggunanya. Kualitas tulisannya pun bisa disesuaikan dengan prompt yang dikirimkan pengguna. Dalam hal jurnalistik, ChatGPT mampu menulis ulang suatu artikel berita menjadi gaya penulisan jurnalisme sastrawi. Tentu saja, tidak semua jurnalis dan editor media massa mampu menulis dengan gaya jurnalisme sastrawi. 

ChatGPT mampu menjadi newbie dan expert sekaligus, menyesuaikan prompt yang dikirimkan penggunanya. Dalam hal akademik, ChatGPT bahkan mampu membuat dan menyusun tugas akhir skripsi, tesis, hingga disertasi bagi mahasiswa Strata 1 hingga Kandidat Doktor. 

Kita lanjut dengan menilik AI gambar dan AI video. Tidak perlu dicontohkan, sebab ada banyak sekali platform AI gambar dan AI video yang bisa digunakan secara gratis maupun berbayar. Di beberapa channel youtube khusus menceritakan sejarah, mereka berhasil memanfaatkan AI gambar dan AI video untuk mengubah gambar dan video berlatar hitam putih menjadi penuh warna. Ini sangat membantu karena tidak perlu menggunakan jasa editor video profesional. Sekali lagi, ini terdengar sangat membantu, namun di lain sisi, hal ini terdengar malapetaka bagi editor video profesional.


Dinamika Artificial Intelligence (AI) V.S. Seniman

Tidak cukup sampai di situ, ternyata kecanggihan AI gambar dan AI video sudah kelewatan batas. Teknologi ini mampu membuat gambar dan video yang mencitrakan karakter manusia fiksi alias menampilkan visual wajah manusia yang tidak pernah lahir di dunia. Kabar buruknya, kecanggihan ini akan mengancam profesi seniman lain seperti aktor, aktris, bahkan tokoh seniman lain yang berwujud nyata.

Betapa tidak, sangat mungkin masa depan perfilman akan lebih banyak melibatkan teknologi AI. Produk film di masa depan tidak lagi menggunakan manusia sebagai pemeran. Aktor, aktris, dan tokoh seniman lain tadi tidak lagi kebagian job. Yang artinya mereka akan terancam kehilangan sumber penghasilan lantaran perusahaan produksi memilih menggunakan tokoh fiksi buatan AI sebagai pemeran. Lebih untung, karena tokoh fiksi tidak menuntut royalti.

Sayangnya, hal ini belum dianggap sebagai ancaman oleh seniman di Indonesia. Tidak seperti reaksi yang dilakukan pelaku seni di San Fransisco, USA. Pada September 2023, Kelly McKernan pelukis kenamaan San Fransisco mengajukan gugatan terhadap perusahaan yang menaungi aplikasi AI: Midjourney dan DevianArt.

Gugatan itu diajukan karena McKernan menganggap karya seninya telah digunakan tanpa izin darinya sebagai media yang terdata dalam Midjourney dan DevianArt. Hal itu menurut McKernan berhasil membuat teknologi AI Midjourney dan DevianArt menjadi kaya sumber dan lebih cerdas.

Sebelumnya pada Juli 2023 di Los Angeles, USA, serikat artis dan bintang film yang menamai diri SAG-AFTRA menggelar protes dan mogok kerja di kantor Netflix. Protes itu cukup beralasan dan masuk akal.

Sebabnya ada usulan dari Aliansi Produser Film dan Televisi di sana akan memproduksi film menggunakan teknologi AI. Film itu sendiri akan mencitrakan wajah artis dan bintang film namun dengan bayaran satu hari kerja yaitu hanya dalam proyek pemindaian wajah. Fran Drescher sebagai Presiden SAG-AFTRA menganggap usulan itu tidak masuk akal dan meminta mereka berpikir ulang.

SAG-AFTRA menuntut adanya kebijakan yang adil bagi seniman di tengah perkembangan teknologi AI. Mereka meminta segala bentuk produk visual AI harus mencitrakan individu artis dan bintang film yang nyata, bahkan jika itu film bertema zombie. Dan bayarannya juga setara dengan menggunakan artis nyata yang diberikan kepada mereka.

Dalam dunia seni dan hiburan, apakah itu lukisan, musik, lirik, bahkan wajah merupakan “brand” yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Penggunaan brand itu bukan hanya harus dihargai, namun juga dipertahankan dengan tidak memberi ruang kepada “brand buatan AI” sebagai produk komersil. Maka itu sama dengan mempertahankan aktor, aktris, dan tokoh seniman lain agar tetap tetap bisa bekerja, menyambung hidup, dan yang paling penting bisa mempertahankan eksistensi sebagai manusia.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama