Evaluasi Janji Jokowi Soal Penempatan Perwira TNI Aktif di Jabatan Sipil

Evaluasi Janji Jokowi Soal Penempatan Perwira TNI Aktif di Jabatan Sipil

Presiden Joko Widodo akhirnya menanggapi masalah yang sudah lama bikin heboh, yaitu penempatan perwira TNI aktif di posisi sipil di kementerian dan lembaga. Janji untuk mengevaluasi secara menyeluruh ini diucapkan pada 31 Juli, tidak lama setelah Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi Cahyanto menjadi tersangka dalam kasus suap di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).

Henri Alfiandi, yang merupakan Kepala Basarnas, diduga menerima suap sebesar Rp88,3 miliar dari beberapa proyek pengadaan barang di Basarnas dalam rentang waktu 2021-2023. Kasus ini mencuat setelah kedua perwira tersebut tertangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sebuah operasi tangkap tangan pada 25 Juli.

Sebagai masyarakat, tentu kita menyambut baik tindakan tegas KPK ini, walau tentu ada pejabat yang pasti kebakaran jenggot.

Perwira TNI aktif bisa menduduki jabatan di Basarnas dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Basarnas adalah satu dari sepuluh kementerian dan lembaga yang bisa diisi prajurit TNI aktif. Bahkan, Mabes TNI sempat mengusulkan dalam pembahasan internal perubahan UU tentang TNI agar prajurit TNI aktif bisa mengisi posisi di 18 kementerian dan lembaga, serta kementerian lain yang membutuhkan.

Bagi aktivis, penempatan perwira TNI di posisi sipil adalah akibat dari banyaknya perwira yang tidak mendapat posisi alias jobless. Meskipun jumlah perwira tinggi yang menganggur dari tahun ke tahun cenderung menurun, tetap saja masih ada yang didayagunakan untuk mengisi posisi jabatan sipil.

Masalah baru muncul ketika ada kasus hukum seperti yang terjadi di Basarnas. Basarnas berada di bawah Kementerian Perhubungan, yang jelas merupakan jabatan sipil. Selain itu, kejahatan korupsi masuk dalam ranah tindak pidana umum. Namun, pihak TNI keberatan jika kedua perwira mereka dikenai hukum pidana umum.

TNI menginginkan agar kedua perwira tersebut diadili berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, sehingga penanganannya dilakukan oleh institusi militer. KPK akhirnya mengalah dan mengambil jalan tengah dengan melakukan investigasi bersama dengan TNI.

Sebagai masyarakat, kita tentu berharap penanganan kasus ini berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun ada aktivis yang mencurigai Undang-Undang Peradilan Militer digunakan sebagai sarana impunitas bagi personel yang melakukan tindak pidana.

Tarik ulur penerapan peradilan militer bukan hal baru. Bahkan, Presiden Joko Widodo pada 2014 pernah berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas dalam sistem hukum nasional, termasuk merevisi UU Peradilan Militer. Tapi, entah kenapa, janji itu belum juga terwujud hingga sekarang.

Ironisnya, pada 3 Agustus, Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Megawati Soekarnoputri melantik Laksamana Madya Amarulla Octavian sebagai Wakil Kepala BRIN. Pengangkatan ini didasarkan pada keputusan presiden yang juga ditandatangani oleh Presiden Jokowi.

Publik wajar skeptis dengan kerja sama penyidikan antara KPK dan Puspom TNI dalam kasus dugaan korupsi di Basarnas. Apalagi, Puspom TNI pernah menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 tahun 2015-2017 yang melibatkan sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Udara, termasuk mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) sekaligus kuasa pengguna anggaran (KPA) Marsekal (Purn) Agus Supriatna. Puspom TNI menghentikan penyidikan dengan alasan tidak ada bukti praktik rasuah, padahal pihak swasta yang menyuap sudah divonis bersalah.

Mengingat janji Jokowi untuk mengevaluasi penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil, kita tentu berharap ada langkah nyata yang diambil. Kita juga berharap evaluasi ini tidak hanya sekadar wacana, tapi benar-benar dilaksanakan dengan transparan dan berintegritas.

Apalagi, dalam konteks reformasi birokrasi, penempatan perwira TNI aktif di posisi sipil memang menimbulkan pro dan kontra. Ada yang melihatnya sebagai langkah efisiensi dan optimalisasi sumber daya manusia, namun ada juga yang khawatir akan adanya potensi konflik kepentingan dan ketidaktransparanan dalam pengambilan keputusan.

Penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil memang masih menjadi topik panas yang membutuhkan perhatian serius. Janji Jokowi untuk mengevaluasi penempatan ini patut kita apresiasi, tapi kita juga harus terus mengawasi pelaksanaannya. Dalam demokrasi, partisipasi dan kontrol dari masyarakat sangat penting agar setiap langkah pemerintah bisa berjalan sesuai dengan kepentingan publik. Kita berharap evaluasi ini bisa membawa perubahan yang positif dan meningkatkan integritas serta profesionalitas dalam birokrasi Indonesia.

Sebagai penutup, mari kita terus dukung dan pantau upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Semoga kasus-kasus seperti di Basarnas bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua dan tidak terulang di masa depan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama